Clik... Aku menekan shutter kameraku sekali lagi.
Sekarang wanita di depan lensa kamera itu mengganti pose untuk ke empat
kalinya pagi ini. Kali ini rambut hitam panjangnya digerai kedepan pundak
kirinya. Tangan kanannya memegang topi berwarna
biru sedangkan tangan kirinya dibiarkan terjuntai bebas. Dengan dibalut jeans
berwarna biru muda kaki kanannya maju selangkah di depan seolah sedang
berjalan. Dalam frame kamera tampak baju merah yang dikenakan Naomi dan
senyumannya membuat wanita itu terlihat sangat cantik, anggun dan elegan.
Sekali lagi –dengan enggan- Aku coba untuk menekan shutter.
Kali ini
jari telunjukku tidak bisa bergerak menekan shutter. Aku coba menghela napas,
pikiranku penuh, bukan ini yang aku inginkan, bukan. Bukan dia yang seharusnya
berada dalam frame kamera ini. Sudah setahun lebih aku bertahan. Mungkin kali
ini aku memang sudah sampai batas. Aku tidak akan bisa menekan shutter lagi. Aku
sudah benar-benar kehilangan alasanku untuk menekannya lagi.
“Aku berhenti!!!” aku berteriak dan segera berbalik dan melangkah
meninggalkan ruangan pemotretan tersebut.
“Anwar, apa yang kau katakan,” Sepertinya Naomi berjalan dengan cepat
kearahku
“Aku bilang aku berhenti.”
“Kamu tidak bisa berhenti begitu saja, kau itu fotografer provesional.”
“Aku fotografer pro sampai beberapa detik yang lalu, sekarang tidak Naomi.”
“Tapi....”
Ctang.... Suara kamera yang ku buang ke tempat sampah menghentikan
Naomi berbicara sebelum kata-katanya
selesai. Aku tidak mendengar lagi kata-kata dari Naomi ataupun dari orang lain
dalam ruangan itu.
***
Beberapa tahun ini setiap kali melihat ke frame kamera perasaan itu selalu
muncul. Geram? Muak? Benci? Entahlah, tapi yang pasti hatiku berkata bukan,
bukan, bukan... Bukan itu yang seharusnya berada dalam frame ini. Bukan ini
yang aku inginkan saat pertama kali memutuskan untuk menekan shutterku. Ada hal
yang membuatku ingin menekan shutterku. Ada hal lain yang aku ingin berada
dalam frameku.
***
Saat itu aku di semester pertama kuliahku. Sebuah festival di kampus.
Ramai, orang-orang berlalu-lalang. Banyak stand-stand UKM. Aku melewati sebuah
stand, sepertinya itu milik UKM teater, orang di depannya memberikan selebaran
bertuliskan “teater”. Pramuka, karate, kempo, sepak bola, aku tidak tahu sudah
berapa stand UKM yang aku lewati.
Akhirnya aku di depan sebuah stand UKM fotografi. Sangat banyak foto di
dinding-dindingnya. Ada foto seorang wanita berambut coklat dengan panjang
sebahu di sana. Foto itu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sejak
dulu aku sukai. Dia akan jauh lebih cantik daripada orang di foto itu. Aku akan
bergabung dengan UKM ini dan suatu hari nanti aku akan memfotonya.
Sudah berapa tahun kejadian itu? Mungkin sudah hampir sepuluh tahun yang
lalu. Lulus kuliah, bekerja sebagai fotografer, bertahun-tahun selama itu aku
tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya terus berharap suatu hari dia berada
dalam frame kameraku. Akan tetapi, tiga tahun lalu? Ya, sekitar tiga tahun lalu
impian itu terwujud. Ya benar terwujud, aku bisa melihatnya tersenyum dalam
frame kameraku, hanya saja dia tidak
sendiri. Dia disana menggunakan gaun pengantin berwarna putih bersama kali-laki
yang bahkan tidak pernah aku kenal. Clik..
Sejak saat itu aku terus –dengan enggan- menekan shutterku. Sejak saat itu
frame kamera tidak terlihat bagus lagi bagiku. Bos, kawan, orang-orang
mengeluhkan penurunan kualitas hasil fotoku. Tak banyak yang bisa aku lakukan.
Tiga tahun, sekarang aku sudah mencapai batasku. Sudah enam bulan ini aku tidak
menyentuh kamera lagi. Bahkan mungkin tidak akan pernah lagi.
Brak.... Guncangan di mobil kali ini cukup keras untuk membuyarkan
lamunanku.
“Pegangan,
jangan cuman ngelamun terus, jalanannya sudah mulai jelek,” kata Ali
melihat ke arahku dan menambahkan, “tiga puluh menit lagi mobil ini
berhenti, selanjutnya butuh waktu satu jam jalan kaki sampai tepatnya.”
Ali adalah temanku sejak SMA. Dia yang mengajakku ikut dalam kegiatan
amal ini. Aku bahkan tidak tahu kemana tujuan kami atau ada apa disana. Aku
hanya mengikutinya karena dia mengatakan lebih baik ikut kegiatan amal daripada
menganggur hanya menghabisan tabungan dan mungkin bisa sedikit melupakan
masalahku.
“satu setengah jam... lama,” jawabku singkat, aku tidak mendengar
komentarnya lagi.
***
“ini... apa ini? Aku tau kita kesini untuk kegitan amal, membagikan
sembako, obat dan sebagainya... tapi ini... semua yang kita bawa tidak akan
cukup,” kataku pada Ali.
“Memang tidak... tapi hanya ini yang bisa kita lakukan daripada tidak sama
sekali,” jawabnya sambil tersenyum dengan senyumannya yang sudah tak asing
lagi. “lebih baik kita istirahat dulu, kita tidak akan bisa membatu banyak
dengan tubuh lelah seperti ini,” lanjutnya.
Aku
mengikuti kata-katanya dan pergi kesebuah tenda yang sepertinya tempat
peristirahatan
para relawan yang sudah disana lebih dulu. Meski dia yang mengajak
istirahat, tapi dia sendiri tidak langsung ke tenda, Katanya sih dia mau
pergi menyapa kawan lama dulu.
“Hey, Anwar...”
Aku mendengar suara seorang wanita. Sepertinya aku kenal suara itu.
“Naomi?” jawabku saat kulihat wanita itu. “Apa yang kau lakukan disini?” aku
menghampiri Naomi di sisi kiri tenda tersebut.
“Menjadi relawan, kami juga membangun tempat belajar disini, setidaknya aku
bisa mengajar baca tulis.”
“Seorang model jadi relawan?”
“Menjadi model bukan halangan berbuat baik bukan? Lagi pula Kau sendiri gimana? Apa kau benar-benar
berhenti? Dan apa yang kau lakukan disini?”
“ya”
“tapi kenapa? Bukankah sejak awal ikut UKM fotografi bersama dulu kau
selalu berbicara tentang menuangkan rasa cinta melalui kamera, dengan melihat
ke frame kamera. Saat memenangkan berbagai lomba kau selalu bilang fotografi
bukan cuman tentang Aperture, Eskposur dan sebagainya saja. Kau bilang ini juga
tentang rasa, hati, dan cinta yang dilihat melalui frame kamera...”
“itu dulu, Naomi, sudah lama aku kehilangan rasa pada kamera,” aku memotong
kata-kata Naomi. “jangan bahas itu lagi. Lebih dari itu aku ingin melakukan
yang lebih untuk tempat ini.”
“ini” Naomi memberikan sebuah kamera padaku.
“Apa?”
“Tempat ini kurang publikasi, mungkin ada banyak orang yang mau membantu
jika mengetahui keadaannya. Jadi aku berpikir mengambil gambar dari sini untuk
surat kabar, tapi disini ada kau. Anggap saja kau sudah tidak bisa melihat
dengan cinta ke frame kamera lagi untuk bunga, alam, model atau apapun yang
biasa kau potret. Tapi jika kau ingin berbuat lebih banyak lagi untuk mereka,
aku rasa kau bisa melihat dengan cinta ke frame kamera untuk mereka. Lakukan
yang terbaik, sampaikan pada dunia apa yang kau lihat disini Anwar.”
“Terima kasih.” Kamera tersebut langsung ku sambar dan aku pun keluar dari
tenda tersebut.
***
Kali ini dalam frame aku melihat seorang ibu dan anak yang duduk terlihat
bahagia seteah mendapatkan makanan.Clik...
Selanjutnya aku mengalihkan kamera.
Sekarang dalam frame kamera tampak seorang wanita, Naomi. Dia tersenyum
membagikan permen kepada beberapa anak disana. Empat hari disini aku menyadari
dua hal. Alasan untuk memotret lagi dan dia. Clik...
By : Jidin